Diskusi Kaum Muda Indonesia dan
Perilaku Menonton Film
Jakarta
16 Januari 2020
Dalam diskusi film bertema Kaum Muda Indonesia dan Perilaku
Menonton Film diselenggarakan oleh 4 lembaga, Assoasi Perusahaan
Film Indonesia (APFI), Saiful Mujani Research Center (SMRC), CinemaXXI dan
Badan Perfilman Indonesia (BPI) pada tanggal 16 Januari 2020 bertepat
di Ballroom Djakarta Theater dihadiri
oleh sejumlah pelaku film, produser, actor, sutradara dan pengelola bioskop di
tanah air. Dalam suasana yang santai diskusi dibuka oleh paparan Chand
Parwez sebagai ketua APFI : “ Ada pertumbuhan
sangat baik dari tahun 2016 hingga saat 2019 kami berkomitmen memberikan yang
terbaik bagi masyarakat untuk menghadirkan karya-karya yang dinikmati di
Bioskop dalam bentuk Genre yang berbeda, hal ini lahir atas munculnya
kreativitas para sineas dalam menciptakan sebuah hiburan yang bermutu.“,
karena sasaran film adalah supaya anak muda dengan mudah menemukan, menentukan
film-film apa yang akan ditonton dalam gawai mereka.
Perkembangan teknologi yang semakin cepat harus dibarengi minat penonton
yang semakin tinggi untuk datang ke bioskop sehingga market share film
Indonesia memperoleh peningkatan yang signifikan. Hal yang senada
dipaparkan Ade Armando, Direktur
SMRC, bahwasanya sesuai data dalam penelitian kuantitatif, gambaran
perilaku penonton film khususnya anak muda yang tersebar di 16 kota besar di
Indonesia, “Menonton film nasional bukan sekedar rasa nasionalisme tetapi juga
kecintaan akan seni budaya, saya tidak terlalu berekspektasi film Indonesia
dengan teknologi yang dipakai ya, jangan disamakan oleh Hollywood”, demikian
tuturnya. Munculnya stigma bahwa film Indonesia tidak berkualitas, penonton
lebih suka film Hollywood, Korea Selatan dibandingkan film dalam negeri justru
dalam survey yang dilakukan memberikan gambaran yang berbeda, perubahan jumlah
penonton dan film yang dihasilkan berbeda dari tahun 2011, yaitu tidak mencapai 1 juta penonton. Sejak tahun 2015
hingga 2019 sangat signifikan jumlahnya dari 3 film menjadi 15 film masuk dalam
katagori 1 juta penonton.
Penelitian terhadap 1200 orang menghasilkan data minat penonton
sangat berbalik dengan stigma diatas dan agak glummy (galau) untuk umur 17
tahun keatas hanya 9,3 % menonton film Nasional sisanya 87,4% tidak menonton
film Nasional (Penelitian 1). Namun jika ditelaah lebih dalam bahwa
kelompok usia dan pendidikan terakhir sangat mempengaruhi minat menonton film.
Semoga hal ini menjadi pemicu para sineas untuk membuat film yang bermutu.
Lagi-lagi penonton film Indonesia masih mendominasi jumlah penonton film asing.
Jadi sekarang mata kita terbuka jika angka ini berlaku, yaitu bahwa ke depannya
potensi dari rentang umur 17 hingga 21 tahun sangat besar. Salah satu faktor
yang menentukan adalah testimoni dari mulut ke mulut dalam lingkar sosial
maupun komunitas akan memicu keinginan menonton film lokal.
Dalam komposisi populasi kota-kota besar dikarenakan mudah
dijangkau, disertai pendapatan ekonomi tertinggi memberikan gambaran yang
berbeda dengan hasil 67% menonton film nasional dan 31% tidak menonton film
nasional, 55 % menonton film asing dan 43% tidak menonton film asing
(Penelitian 2) berdasarkan frekuensi menonton film dan kelompok usia,
dibarengi genre yang beredar Komedi, Horor, Percintaan, sayangnya beberapa
genre lainnya yaitu Sejarah, Misteri, dan Agama masuk dalam urutan terbawah.
Sebagai info tambahan, genre drama keluarga belum dimasukan dalam survey kali
ini. Dikarenakan keterbatasan waktu sehingga belum dipaparkan secara jelas
kenapa orang Indonesia tidak menonton film nasional. Munculnya VOD (Video
On Demand) layanan streaming yang begitu cepat menjadi penyebab
penonton memutuskan menonton di bioskop dapat diundur. Menunggu tersedianya
film pada layanan streaming atau TV nasional, disamping biaya tiket terlalu
mahal (39%), lokasi gedung bioskop belum merata dan masih jauh dari rumah
(25%), biaya ongkos lebih mahal dari tiket bioskop itu sendiri dan ketiga
adalah kelompok yang tidak suka menonton film. Sebenarnya harga tiket bioskop di Indonesia masih
masuk dalam kategori harga termurah di Asia Tenggara khususnya. Hal ini
sampaikan oleh pihak Cinema21.
Kembali pada genre film asing yang
disukai. Genre Laga berada pada urutan teratas hasil survey. Dalam perspektif
pembuat film, biaya adalah kunci utama. Hal ini merupakan sebuah realita yang
tidak dapat dibantah. Peningkatan gedung bioskop di daerah yang susah
terjangkau akan dilakukan pengelola
bioskop dalam satu tahun ke depan akan meningkat, tapi pada kenyataannya peredaran
uang masih terfokus di pulau Jawa dan pendapatan tiap orang memang belum merata
walaupun pihak Cinema21 sudah mematok harga tiket antara 25 ribu rupiah hingga yang
termahal yaitu 150 ribu. Hal ini membuktikan bahwa pecinta film diberikan
kebebasan memilih dimana dia harus menonton yang bisa disesuaikan dengan
kemampuan ekonominya. Keterlibatan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan juga
sangat diharapkan untuk membantu kemajuan film di tanah air. Salah satu
implikasinya adalah kemudahan dalam proses perizinan pembangunan bioskop.
Sekuat apapun usaha kita tanpa penonton akan sia-sia, saling support dan
keterlibatan setiap stakeholder adalah kunci untuk memajukan industri
perfilm-an dalam negeri.
Berikut ini pemaparan singkat dari HB. Naveen (APFI &
Produser) “Secara industry perfilman dunia bahwa income movie industry terbesar
selama tahun 2019 S42 Milyar, di USA
sendiri selama 5 tahun berturut menghasilkan $11 Milyard hal ini harusnya
memicu perkembangan industry film nasioanal terlepas dari teknologi yang
dipakai. Ekonom Indonesia akan maju pesat dalam target film jika 3000 layar
(Tahun 2024) terpenuhi , Hukum suplay and Deman harus seimbang berlaku pada
segi pemasaran yang bernilai dua kali lipat biaya produksi memang cukup berat, tapi
saya melihat nilai positif makin kedepan dari jumlah penonton hanya berkisar
jutaan akan bertambah puluhan juta, kreafitas tidak hanya di film saja tapi
pemasaran juga harus berjalan bersama.”
Akhir kata Survey bulan Desember 2019 menunjukan 67 % kaum muda sangat
antusias menonton film Indonesia setidaknya 1 sampai 2 kali dalam setahun,
sementara sisanya 33 % adalah mereka yang memang tidak menyukai menonton di
bioskop. Jadi stigma selama ini bahwa film asing lebih mendominasi jumlah
penonton di Indonesia adalah tidak benar, karena data di lapangan berkata
sebaliknya. Jumlah penonton yang menonton film Indonesia masih jauh lebih
banyak dibandingkan jumlah penonton film asing.
Comments
Post a Comment